Senin, 09 Juli 2012

HUTANG PIUTANG


PEMBAHASAN
QS. Al-Baqarah: 282.

يَآَيُّهاَ الَّلدِيْنَ ءَامَنُوْا إِدَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىَ أَجَلٍ مُسَمَّى فَكْتُبُوْهُ, وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ, وَلاَيَأبَ كاَتِبٌ أَنْ يَكْتُبْ كَمَا عَلّْمَهُ اللهَ, فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّدِىْ عَلَيْهِ أَلحَقُّ وَالْيَتَقِ اللّهَ رَبَّهُ, لاَيَبْخَسْ مِنْهُ شَيْءاً, فَإِنْ كَانَ الَّدِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهاً أَوَضَعِيْفاً أَوْلاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَفَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ, وَاسْتَشْهِيْدُ واشَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمًّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الْشُهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَ هُمَا فَتُدَكِرَ إِحْدَهُمَا اْلأُخْرَىْ, وَلاَيَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِدَامَادُعُوْا, وَلاَتَسْءَمُوْا أَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا أَوْكَبِيْرًا إِلَى أَجَلِهِ, دَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَاللّهِ وَأَقْوَمُ لِشَّهَدَةِ وَأَدْنَى أَلاَّتَرْتَبُ, إِلاِّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَرَةً حَاضِرَةً تُدِيرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّتَكْتُبُهَا, وَأَشْهِدُوْ إِدَاتَبَايَعْكُمْ, وَلاَيُضَارَّ كَاتِبٌ وَلاَشَهِيْدٌ, وَإِنْ تَفْعَلُوْا فَإِنَّهُ, فُسُقٌ بِكُمْ, وَتَّقُوْااللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ, وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْم ٌ.[1]

  1. Terjemah
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
B.     Ma’na Mufradat
تداينت                           :  kalian memberikan utang sesame kalian
إلي أجل مسمّي             : Waktu yang telah ditentukan, baik dengan hari, bulan atau tahun yang memberikan batas waktu tertentu pembayaran. Tetapi, tidak digantungkan dengan musim panen atau ketika datang dari haji atau sejenisnya, karena hal ini masih belum bisa ditentukan.
  بالعدل                         : dengan sportif, tidak cenderung memihak kepada pihak tertentu.
 ولايأب                         : tidak berhalangan (mampu mengerjakan).
 كما علمه اللّه               : menurut cara yang telah diajarkan oleh Allah, dalam menuliskan surat-surat dokumen.
 و ليملل                        : hendaknya  sang penulis menuliskan apa yang dimaksud olehnya.
 ولاتسءمو                  : janganlah kalian merasa bosan dan mengerutu.
 أقسط                           : keadilanya lebih terjamin.
 ألا ترتابوا                     : meniadakan keraguan dalam menentukan jenis utang, jumlah dan waktu pembayaranya.
ولا يضار                      :jangan sekali – kali sang penulis membuat celaka kedua belah yang bersangkutan, seperti tidak mau menulis, atau tidak mau menjadi saksi, merubah, mengurangi atau menambahi.
 فسوق                         :keluar dari garis ketaatan.:     cara berpikirnya lemah, dan tidak bisa mentasarrufkan harta karena akalnya kurang sempurna, kondisi lemah, masih kecil, sangat tua atau karena bodoh, bisu dan gagu.
C.    Kandungan Ayat
Ayat ini merupakan tuntunan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin untuk menulis dalam bermuamalah hutang-piutang dan mempersaksikannya di hadapan saksi, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktu. Hal ini supaya dalam melakukan transaksi hutang-piutang, harta dapat terpelihara serta mencegah kesalahpahaman.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Perintah ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dalam penulisan itu. Karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan.
Kata tadaayantum diterjemahkan dengan muamalah yang diambil dari kata dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun dari kata dain itu selalu menggambarkan hubungan antara dua pihak yang salah satunya berada dalam kedudukan yang lebih tinggi dari pihak lain. Kata ini bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama yang kesemuanya menggambarkan hubungan timbal balik itu, atau dengan kata lain adalah muamalah. Dan muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tida secara tunai, yakni hutang-piutang.[2]
Faktubuuhu: perintah menulis di sini hanya merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan terjaminnya keselamatan yang diharapkan, bukan perintah wajib.[3]
Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas pundak penulis, bahkan setiap orang yang memiliki keampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, tapi ia menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan.[4]
Dan hendaklah yang berhutang itu mengimlakkan. Maksudnya adalah perintah bagi yang berhutang mengimlakan apa yang telah disepakati untuk ditulis, karena dia dalam posisi yang lemah. Seandainya yang member hutang yang mengimlakan, bisa jadi suatu ketika yang berhutang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alas an bagi yang berhutang untuk mengingkarinya.[5]
Lanjutan ayat menjelaskan jika yang berhutang itu lemah akalnya, yakni tidak pandai mengurus harta karena suatu sebab, atau lemah keadaanya, seperti sakit, tua atau karena dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, maka hendaknlah walinya mengimlakan dengan jujur.[6]
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Yang dimaksud saksi disini adalah saksi yang benar-benar wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut, sehingga tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya.[7]
Dalam ayat ini Allah swt. memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan perjanjian perserikatan yang tidak tunai, yaitu melengkapinya dengan alat-alat bukti sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari. Pembuktian itu ialah:

1.      Bukti tertulis

Bukti tertulis hendaklah ditulis oleh seorang juru tuli, yang menuliskan isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat-syarat juru tulis itu ialah:
a.          Hendaklah juru tulis itu orang adil, tidak memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain.
b.         Hendaklah juru tulis itu mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian, sehingga ia dapat memberi nasihat dan petunjuk yang benar kepada pihak-pihak yang berjanji itu, karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari.

2.      Saksi 

Saksi ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya sesuatu kejadian atau peristiwa. Persaksian termasuk salah satu dari alat-alat bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan sesuatu perselisihan atau perkara. Menurut ayat ini persaksian dalam muamalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-laki atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Mengenai syarat-syarat laki-laki bagi yang akan menjadi saksi adalah sebagai berikut:
a.          Saksi itu hendaklah seorang muslim. Pendapat ini berdasarkan perkataan "min rijaalikum" (dari orang laki-laki di antara kamu orang-orang yang beriman) yang terdapat di dalam ayat. Dari perkataan ini dipahami bahwa saksi itu hendaklah seorang muslim. Menurut sebagian ulama, beragama Islam bukanlah merupakan syarat bagi seorang saksi dalam muamalah. Karena tujuan persaksian di dalam muamalah ialah agar ada alat-alat bukti seandainya terjadi perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang berjanji di kemudian hari. Karena itu orang yang tidak beragama Islam dibolehkan menjadi saksi asal saja tujuan mengadakan persaksian itu dapat tercapai.
b.         Saksi itu hendaklah seorang yang adil, tidak memihak sehingga tercapailah tujuan diadakannya persaksian. Dalam susunan ayat ini didahulukan menyebut sifat "adil" daripada sifat "berilmu" adalah karena sifat adil lebih utama ada pada seorang juru tulis. Banyak orang yang berilmu, tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran petunjuk dan nasihat yang diberikannya. Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang dapat diharapkan daripadanya nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya atau terjadinya korban. Maksudnya ialah:
  1. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila kesaksiannya diperlukan.
  2. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi bila terjadi suatu perkara, sedang ia adalah orang yang mengetahui terjadinya peristiwa itu.
  3. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila tidak ada orang lain yang akan menjadi saksi.
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, yakni penulisan hutang piutang dan kesaksian yang dibicarakan itu lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu menegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkannya keraguan di antara yang berhutang piutang.[8]
Jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli. Perintah disini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib.
Saksi dan penulis yang dimintai atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai kepentingan, yang tidak jarang kehadirannya sebagai saksi atau tugasnya menulis dapat mengganggu kepentingannya. Disisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang piutang itu dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis.[9]
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi merupakan penutup yang amat tepat karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat Ilahi menjadi tepat.[10]


ð  QS. Al-Baqarah: 280
A.     وإن كان دو عسرةٍ فنظرةُ إلي ميسرةٍ وأنْ تصدّقوا خيرٌ لكم إنْ كنتم تعلمون
B.     Terjemah
280.  Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.
C.    Tafsir Mufradat
دو عسرةٍ فنظرةُ   :dalam kedaan sulit, lantaran lenyapnya harta atau rusaknya barang.
        إلي ميسرةٍ                  :menunggu
وأنْ تصدّقوا خيرٌ لكم       :dalam keadaan luas rezekinya[11]
D.    Kandungan Ayat
Ayat ini merupakan lanjutan ayat yang sebelumnya. Ayat yang lalu memerintahkan agar orang yang beriman menghentikan perbuatan riba setelah turun ayat di atas. Para pemberi utang menerima kembali pokok yang dipinjamkannya. Maka ayat ini menerangkan: Jika pihak yang berutang itu dalam kesukaran berilah dia tempo, hingga dia sanggup membayar utangnya. Sebaliknya bila yang berutang dalam keadaan lapang, ia wajib segera membayar utangnya. Rasulullah saw. bersabda:
مطل الغني ظلم
Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah perbuatan zalim. (HR Bukhari dan Muslim)
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Apabila ada seseorang yang berada dalam situasi sulit, atau terjerukus dalam kesulitan bila membayar hutangnya, maka tangguhkan penagihan hutang sampai dia lapang. Jangan menagih apabila mengetahui dia sempit apalagi memaksanya membaya r dengan sesuatu yang amat dia butuhkan.
“siapa yang menangguhkan pembayaran hutang orang yang berada dalam kesulitan, atau membebaskannya dari hutangnya, maka dia akan dilindungi Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan-Nya (hari kiamat)”. (HR. Imam Muslim)[12]
Juga diriwayatkan berkenaan dengan ayat ini, telah disebutkan bahwa bani Mughirah mengatakan kepeda Mani Amr bi Umair ketika menagihnya “Kini kami sedang dalam keadaan sulit, maka tangguhkanlah sampai musim panen buah.” Bani Amr menolak permintaan tersebut, lalu Allah menjelaskan bahwa “dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu”, yang mengandung maksud anjuran meneyedekahkan harta terhadap orang-orang yang mempunyai hutang dan sedang kesulitan, dengan membebaskan sebagian atau seluruh utangnya. Hal itu lebih baik dan lebih banyak pahalanya di sisi Allah dari pada menunggu mereka bisa membayar.[13]
Dalam pada itu Allah swt. menyatakan bahwa memberi sedekah kepada orang yang berutang yang tidak sanggup membayar utangnya adalah lebih baik. Jika orang-orang yang beriman telah mengetahui perintah itu, hendaklah mereka melaksanakannya. Dari ayat ini dipahami juga bahwa:
1.         Allah swt. memerintahkan agar memberi sedekah kepada orang yang berutang, yang tidak sanggup membayar utangnya.
2.         Orang yang berpiutang wajib memberi tangguh kepada orang yang berutang bila mereka dalam kesulitan.
3.         Bila seseorang mempunyai piutang pada seseorang yang tidak sanggup membayar utangnya diusahakan agar orang itu bebas dari utangnya dengan jalan membebaskan dari pembayaran utangnya baik sebahagian maupun seluruhnya atau dengan jalan yang lain yang baik. [14]


DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahalli, Jalaluddin dan As-Suyuti, Jalaluddin. Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004.
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi III. Semarang: CV. Toha Putra, 1992.
Hamka. Tafsir Al-Azhar juz III. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Katsir, Ibnu. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. Surabaya: Bina Ilmu, 2004.
Shihab, Quraish.Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.


[1]               al-Qur’an nur karim.surat al- Baqarah
[2] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 603.
[3] Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy (Surabaya: Bina Ilmu, 2004), 557.
[4]               Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 605.
[5]               Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, 558.
[6]               Ibid.,559.
[7]               Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 606.
[8]               Ibid., 608.
[9]               Hamka, Tafsir Al-Azhar juz III (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 114.
[10]             bid., 115.
[11]             Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi (Semarang: CV. Toha Putra, 1992), 97.
[12]             Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 599.
[13]             Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, 119.
[14]             Hamka, Tafsir Al-Azhar, 104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar