Senin, 09 Juli 2012

ASUMSI DASAR EPISTEMOLOGI HUMANISTIK


BAB II
PEMBAHASAN
ASUMSI DASAR EPISTEMOLOGI HUMANISTIK


A.    ASUMSI
Pada setiap kerja penelitian, peneliti hampir selalu dituntut merumuskan asumsi, baik sebagai pijakan untuk merumuskan hipotesis, mempertegas variable, maupun untuk keperluan uji hipotesis. Dalam banyak literature metodologi penelitian, pembahasan mengenai asumsi hampir selalu didekatkan dengan pembahasan mengenai hipotesis.

Asumsi berkenaan dengan komponen – komponen teori aksiomatik, meliputi postulate, aksioma, teorem dan generalisasi empiris. Secara umum, asumsi didefinisikan sebagai hasi abstraksipemikiran yang oleh peneliti dianggap bennar dan dijadikannya sebagai pijakan untuk mengkaji satu atau beberapa gejala. Oleh karena asumsi berkenaan dengan komponen – komponen teori aksiomatik, maka beberapa istilah yang relevan dengan itu, akan didevinisikan disini, yaitu postulat, aksioma, teorem, dan generasi empiris.[1]

Berdasarkan asumsi diatas, secara implicit dapat dinyatakan bahwa asumsi dibangun atas dasar teori, apakah dia semacam teorema atau generasi empiris. Untuk merumuskan asumsi, karenanyan, mahasiswa harus berteori dan kapasitas berteori dan teori itu sendiri diperoleh melalui kajian yang luas dan mendalam terhadap kepustakaan yang ada, terutama kepustakaan ilmiah. Kaluapun ada pengarang yang menyatakan bahwaasumsi adalah sebuah pernyataan yang kebenarannya diterima oleh penyelidik, namun tidak berarti asumsi sama dengan “apa saja” yang dinyatakan dan terima oleh penyelidik.

Dalam rangka memilih salah satu teori atau pendekatan yang digunakan untuk mendukung argumentasi pada kerangka berfikir diperlukan adanya asumsi, postulat, atau prinsip secara tersurat. Asumsi tersebut harus bersifat imperative, karena dengan asumsi, postulat, atau prinsip yang berbeda, maka teori atau pendekatan yang digunakan akan berbeda pula. Perbedaan asumsi yang dimiliki peneliti dengan pembaca, membuat pembaca tidak menyetujui argumentasi yang dibuat peneliti. Asumsi ialah pernyataan yang dapat diuji kebenarannya secara empiris. Postulat ialah pernyataan yang kebenarannya tidak perlu diuji, karena sudah diterima oleh umum, misalnya matahari terbit dari timur. Prinsip ialah pernyataan yang berlaku umum bagi gejala tertentu dan mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, misalnya hokum sebab akibat. Asumsi, postulat, dan prinsip ini jangan diada-adakan dalam suatu penelitian jika memang tidak diperlikan. Dalam membuat asumsi harus diperhatikan beberapa hal dibawah ini.
1.      Asumsi harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoritis. Asumsi bahwa manusia sebagai makhluk administrasi tidak mempunyai makna apa-apa dalam menyusun teori-teori administrasi. Administrasi manusia secara operasional, antara lain manusia adalah makluk ekonomi, makhlik social, makhluk yang bersifat aktualisasi diri, makhluk kompleks, dan makhluk yang mempunyai banyak keiginan.
2.      Asumsi harus menyatakan keadaan yang sebenarnya, bukan keadaan yang seharusnya.
3.      Peneliti harus mengenal betul asumsi yang dipakai dalam menyusun kerangka berpikirnya. Sebab menggunakan asumsi yang yang berbeda, maka berbeda pula teori yang dipakainya.
4.      Asumsi harus dinyatakan tersurat sebab asumsi yang tersirat sering menyesatkan dan menyebabkan interprestasi yang berbeda.[2]



Asumsi dasar Penelitian :
1.      fenomena di alam semesta terikat oleh aturan/hukumdan berada dalam keteraturan tidak kacau (chaos)
2.      manusia mempunyai kemampuan untuk mengikuti aturan dan keteraturan
3.      setiap fenomena (subsansti, kondidi dan proses) ada sebab akibatnya bukan terjadi secara kebetulan.
4.      Pengetahuan ilmiah hanya mampu menggambarkan yg terjadi secara nyata, apabila pengetahuan itu bersifat empirik (berdasar fakta)

B.     EPISTEMOLOGI
Epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan, pernyataan tentang kebenaran diperlukan susunan yang tepat. Kebenaran pengetahuan disebut memenuhi syarat-syarat epistemology karena juga tepat susunannya, atau disebut logis. Meskipun logika dan epistemologi merupakan dua halyang berbeda, keduanya memiliki kaitan yang sangat kuat, ialah bahwa logika menjadi prasyarat yang mendasari epistemology.

Dalam epistemology, secara lebih rinci terdapat perbincangan mengenai dasar, batas, dan obyek pengetahuan. Oleh sebagian orang, epistemology disebut filsafat ilmu. Secara umum, epistemology mempersoalkan kebenaran pengetahuan. Hal yang dibicarakan adalah pengetahuan dan susunannya (system). Ilmu atau science adalah gejala gejala yang dapt diamati berulang-ulang melalui eksperimen sehinga dapat diamati secara berulang-ulang oleh orang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda.

Adapun hal yang dibicarakan dalam epistemology ialah hakekat ketetapan susunan berpikir yang secara tepat pula digunakan untuk masalah-masalah yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi pernyataanya. Isi pernyataan adalah sesuatu yang ingin diketahui.

Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian)
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?;
 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?;
3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia.
     C.HUMANISME
Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam)

Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan.

Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka Tuhan. Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada,dan perlu dipertahankan dan diexpresikan.

Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau gejala manusiawi yang menempatkan manusianya sendiri sebagai entitas-entitas
marginal atau pinggiran (peripheral).

Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
1. faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh) pada pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan
masyarakat buruh.

2. Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan manusia pada posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu dihubungkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik.
3. Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada dunia diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam posisi yang paling
sentral.

Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia, melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu?
Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas.
Istilah Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik.

Pertanyaan berikutnya adalah di manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik? Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek.

Jawaban tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat ciri humanistik Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan
nilai dan martabatnya.

Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam fisik yang natural). Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.


Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
Permasalahan sosialitas manusia (manusia berkorelasi dengan yang lain). Manusia sadar akan diri bersama  dengan orang lain dan dengan infra human. Manusia bersifat plural, dengan banyak pusat otonom hubungan antara ‘aku’ dan yang lain sampai kini hanya dieksplisitasikan secara formal saja. Maksudnya, adanya yang lain dituntut sebagai syarat mutlak : yang lain juga sebagai subtansi dan subyek. Namun belum dijawab pertanyaan mengenai hubungan antara “aku” dan yang lain? Ataukah kadang – kadang ada hubungan langsung pula? Apakah mungkin selalu berhubungan? Ataukah hubungan itu dangkal atau mendalam? Refleksi metafisis berusaha mencari jawaban yang lebih tepat.




[1]               Sudarwan denim. Metodologi penelitian social. (Jakarta 13220) PT Bumi Aksara, 2004
[2]               Prof. Dr. Husaini Usman, M.pd.,M.T. Purnomo Setiady Akbar, M. pd. Metodologi penelitian social. (Jakarta 13220). PT.BUMI AKSARA. 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar