Senin, 09 Juli 2012

ASUMSI DASAR EPISTEMOLOGI HUMANISTIK


BAB II
PEMBAHASAN
ASUMSI DASAR EPISTEMOLOGI HUMANISTIK


A.    ASUMSI
Pada setiap kerja penelitian, peneliti hampir selalu dituntut merumuskan asumsi, baik sebagai pijakan untuk merumuskan hipotesis, mempertegas variable, maupun untuk keperluan uji hipotesis. Dalam banyak literature metodologi penelitian, pembahasan mengenai asumsi hampir selalu didekatkan dengan pembahasan mengenai hipotesis.

Asumsi berkenaan dengan komponen – komponen teori aksiomatik, meliputi postulate, aksioma, teorem dan generalisasi empiris. Secara umum, asumsi didefinisikan sebagai hasi abstraksipemikiran yang oleh peneliti dianggap bennar dan dijadikannya sebagai pijakan untuk mengkaji satu atau beberapa gejala. Oleh karena asumsi berkenaan dengan komponen – komponen teori aksiomatik, maka beberapa istilah yang relevan dengan itu, akan didevinisikan disini, yaitu postulat, aksioma, teorem, dan generasi empiris.[1]

Berdasarkan asumsi diatas, secara implicit dapat dinyatakan bahwa asumsi dibangun atas dasar teori, apakah dia semacam teorema atau generasi empiris. Untuk merumuskan asumsi, karenanyan, mahasiswa harus berteori dan kapasitas berteori dan teori itu sendiri diperoleh melalui kajian yang luas dan mendalam terhadap kepustakaan yang ada, terutama kepustakaan ilmiah. Kaluapun ada pengarang yang menyatakan bahwaasumsi adalah sebuah pernyataan yang kebenarannya diterima oleh penyelidik, namun tidak berarti asumsi sama dengan “apa saja” yang dinyatakan dan terima oleh penyelidik.

Dalam rangka memilih salah satu teori atau pendekatan yang digunakan untuk mendukung argumentasi pada kerangka berfikir diperlukan adanya asumsi, postulat, atau prinsip secara tersurat. Asumsi tersebut harus bersifat imperative, karena dengan asumsi, postulat, atau prinsip yang berbeda, maka teori atau pendekatan yang digunakan akan berbeda pula. Perbedaan asumsi yang dimiliki peneliti dengan pembaca, membuat pembaca tidak menyetujui argumentasi yang dibuat peneliti. Asumsi ialah pernyataan yang dapat diuji kebenarannya secara empiris. Postulat ialah pernyataan yang kebenarannya tidak perlu diuji, karena sudah diterima oleh umum, misalnya matahari terbit dari timur. Prinsip ialah pernyataan yang berlaku umum bagi gejala tertentu dan mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, misalnya hokum sebab akibat. Asumsi, postulat, dan prinsip ini jangan diada-adakan dalam suatu penelitian jika memang tidak diperlikan. Dalam membuat asumsi harus diperhatikan beberapa hal dibawah ini.
1.      Asumsi harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoritis. Asumsi bahwa manusia sebagai makhluk administrasi tidak mempunyai makna apa-apa dalam menyusun teori-teori administrasi. Administrasi manusia secara operasional, antara lain manusia adalah makluk ekonomi, makhlik social, makhluk yang bersifat aktualisasi diri, makhluk kompleks, dan makhluk yang mempunyai banyak keiginan.
2.      Asumsi harus menyatakan keadaan yang sebenarnya, bukan keadaan yang seharusnya.
3.      Peneliti harus mengenal betul asumsi yang dipakai dalam menyusun kerangka berpikirnya. Sebab menggunakan asumsi yang yang berbeda, maka berbeda pula teori yang dipakainya.
4.      Asumsi harus dinyatakan tersurat sebab asumsi yang tersirat sering menyesatkan dan menyebabkan interprestasi yang berbeda.[2]



Asumsi dasar Penelitian :
1.      fenomena di alam semesta terikat oleh aturan/hukumdan berada dalam keteraturan tidak kacau (chaos)
2.      manusia mempunyai kemampuan untuk mengikuti aturan dan keteraturan
3.      setiap fenomena (subsansti, kondidi dan proses) ada sebab akibatnya bukan terjadi secara kebetulan.
4.      Pengetahuan ilmiah hanya mampu menggambarkan yg terjadi secara nyata, apabila pengetahuan itu bersifat empirik (berdasar fakta)

B.     EPISTEMOLOGI
Epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan, pernyataan tentang kebenaran diperlukan susunan yang tepat. Kebenaran pengetahuan disebut memenuhi syarat-syarat epistemology karena juga tepat susunannya, atau disebut logis. Meskipun logika dan epistemologi merupakan dua halyang berbeda, keduanya memiliki kaitan yang sangat kuat, ialah bahwa logika menjadi prasyarat yang mendasari epistemology.

Dalam epistemology, secara lebih rinci terdapat perbincangan mengenai dasar, batas, dan obyek pengetahuan. Oleh sebagian orang, epistemology disebut filsafat ilmu. Secara umum, epistemology mempersoalkan kebenaran pengetahuan. Hal yang dibicarakan adalah pengetahuan dan susunannya (system). Ilmu atau science adalah gejala gejala yang dapt diamati berulang-ulang melalui eksperimen sehinga dapat diamati secara berulang-ulang oleh orang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda.

Adapun hal yang dibicarakan dalam epistemology ialah hakekat ketetapan susunan berpikir yang secara tepat pula digunakan untuk masalah-masalah yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi pernyataanya. Isi pernyataan adalah sesuatu yang ingin diketahui.

Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian)
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?;
 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?;
3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia.
     C.HUMANISME
Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam)

Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan.

Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka Tuhan. Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada,dan perlu dipertahankan dan diexpresikan.

Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau gejala manusiawi yang menempatkan manusianya sendiri sebagai entitas-entitas
marginal atau pinggiran (peripheral).

Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
1. faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh) pada pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan
masyarakat buruh.

2. Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan manusia pada posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu dihubungkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik.
3. Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada dunia diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam posisi yang paling
sentral.

Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia, melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu?
Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas.
Istilah Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik.

Pertanyaan berikutnya adalah di manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik? Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek.

Jawaban tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat ciri humanistik Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan
nilai dan martabatnya.

Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam fisik yang natural). Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.


Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
Permasalahan sosialitas manusia (manusia berkorelasi dengan yang lain). Manusia sadar akan diri bersama  dengan orang lain dan dengan infra human. Manusia bersifat plural, dengan banyak pusat otonom hubungan antara ‘aku’ dan yang lain sampai kini hanya dieksplisitasikan secara formal saja. Maksudnya, adanya yang lain dituntut sebagai syarat mutlak : yang lain juga sebagai subtansi dan subyek. Namun belum dijawab pertanyaan mengenai hubungan antara “aku” dan yang lain? Ataukah kadang – kadang ada hubungan langsung pula? Apakah mungkin selalu berhubungan? Ataukah hubungan itu dangkal atau mendalam? Refleksi metafisis berusaha mencari jawaban yang lebih tepat.




[1]               Sudarwan denim. Metodologi penelitian social. (Jakarta 13220) PT Bumi Aksara, 2004
[2]               Prof. Dr. Husaini Usman, M.pd.,M.T. Purnomo Setiady Akbar, M. pd. Metodologi penelitian social. (Jakarta 13220). PT.BUMI AKSARA. 2009.

Manajemen Wakaf Uang


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Wakaf uang dapat berperan dalam menunjang proses pembangunan secara menyeluruh, baik dalam pembangunan sumber daya manusia, maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Pengembangan wakaf uang memiliki nilai ekonomi yang strategis.  Melalui wakaf uang, aset-aset wakaf berupa tanah-tanah kosong dapat dimanfaatkan dengan membangun gedung atau sarana bisnis. Wakaf uang berpengaruh positif terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dana wakaf juga bisa membantu memberdayakan usaha kecil. Di samping itu wakaf uang memainkan peranan yang sangat penting sebagai salah satu pilar pembangunan sosial dan pembangunan masyarakat sejahtera.
Krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, sejak Juli 1997, merambat ke berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Melemahnya kegiatan perekonomian, sebagai akibat depresiasi nilai tukar yang sangat tajam dan inflasi yang tinggi, tidak hanya menyebabkan merosotnya tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memaksa sektor ekonomi lainnya menurunkan atau bahkan menghentikan usahanya. Keadaan ini, mengakibatkan bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya memicu berbagai masalah sosial seperti meningkatnya angka kemiskinan dan kriminalitas yang mengancam stabilitas politik.
Sebagai salah satu instrumen wakaf produktif, wakaf uang merupakan hal yang baru di Indonesia. Wakaf yang selama ini dipahami oleh umat hanyalah wakaf tanah milik yang diatur Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peluang untuk wakaf uang ada setelah Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang bolehnya wakaf uang tahun 2002. Peluang yang lebih besar muncul akhir-akhir ini dengan disahkannya rancangan Undang-undang Wakaf menjadi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.









BAB II
PEMBAHASAN

B.     Manajemen Wakaf Uang Pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI)
Peran dan potensi dana ummat dalam pembangunan sangat potensial. Berdasarkan kondisi ini, maka Dompet Dhuafa tergerak untuk mengambil inisiatif membentuk institusi Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang berfungsi selaku pengelola wakaf (nazhir wakaf) khususnya wakaf uang, sekaligus mengalokasikannya secara tepat dengan profesionalitas dan amanah. Tabung Wakaf Indonesia (TWI) merupakan badan unit atau badan otonom dengan landasan badan hukum Dompet Dhuafa Republika, berdiri pada tanggal 14 Juli 2005. TWI merupakan badan hukum yayasan yang telah kredibel dan memenuhi persyaratan sebagai nazhir wakaf sebagaimana dimaksud Undang-undang Wakaf. Yakni sebagai nazhir wakaf berbentuk badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan keagamaan Islam. Pendirian lembaga pengelola wakaf ini adalah untuk mewujudkan sebuah lembaga nazhir wakaf dengan model suatu lembaga keuangan yang dapat melakukan kegiatan mobilisasi penghimpunan harta benda dan dana wakaf guna memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Lembaga ini ikut mendorong pembangunan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Kelahiran lembaga ini diharapkan dapat melakukan optimalisasi wakaf sehingga wakaf dapat menjadi penggerak ekonomi ummat. Sasaran lembaga pengelola wakaf adalah seluruh lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan berwakaf dan masyarakat yang menjadi sasaran program pemberdayaan TWI.
Dompet Dhuafa Republika merupakan institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat pada tanggal 8 Oktober 2001. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 439 Tahun 2001, Dompet Dhuafa Republika pun dikukuhkan sebagai Lembaga Amil Zakat. Itu berarti payung hukum yang dipakai sampai saat ini untuk legalitas lembaga pengelola wakaf uang masih sebagai amil zakat, belum sebagai nazhir.
Kegiatan utama TWI, yang mempunyai visi “Membangkitkan peran wakaf sebagai penegak dan pembangkit ekonomi ummat”, dan misi  “Mendorong pertumbuhan ekonomi ummat serta optimalisasi peran wakaf dalam sektor sosial dan ekonomi produktif “adalah  melakukan kegiatan menghimpun harta benda wakaf baik berupa benda tidak bergerak, maupun benda bergerak dan melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang telah dihimpunnya untuk kepentingan ummat.
Mekanisme yang dilakukan Tabung Wakaf Indonesia (TWI) dalam mengelola dana wakaf uang dapat dilihat dari beberapa aspek yakni penghimpunan dana wakaf, manajemen investasi serta pendistribusiannya kepada mauquf alaih.
1.    Manajemen Fundraising Dana Wakaf

Pada dasarnya pengelolaan harta wakaf, baik wakaf benda tidak bergerak, maupun wakaf benda bergerak telah dilakukan oleh Dompet Dhuafa Republika sejak tahun 2001. Hal ini terlihat dari berhasilnya Dompet Dhuafa Republika menghimpun dana wakaf uang sebesar  Rp86.968.000,00  Penghimpunan dana wakaf uang ini meningkat tahun 2002, sebesar Rp822.451.600,00 Peningkatan ini nampaknya dipengaruhi oleh keluarnya fatwa MUI tentang wakaf uang 11 Mei 2002. Peningkatan jumlah dana yang berhasil dihimpun ini terus terjadi tahun 2004 di saat pembahasan dan pensahan undang-undang wakaf.  Ini terlihat dari laporan keuangan Dompet Dhuafa tahun 1425 H yang menunjukkan terjadinya peningkatan yang signifikan yakni Rp7.443.389.785,00 Hal ini berarti sejak ditetapkan sebagai lembaga yang khusus mengelola wakaf uang, TWI mencoba melakukan tanggung jawabnya secara profesional.  Sejak peresmian TWI menjadi lembaga pengelola wakaf yang diberi kewenangan untuk mengakses potensi wakaf uang secara mendiri. Dana wakaf yang berhasil dihimpun mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Untuk lebih jelasnya bagaimana perkembangan dana wakaf yang berhasil dihimpun TWI dapat digambarkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Penerimaan Wakaf Uang
Tahun
Jumlah
keterangan
2001
86,968,000

2002
822,541,600
1 Jan 2002-4 Nov 2002
1423/1424 H
391,914,297
5 Nov 2002-25 Okt 2003
2004/1425 H
7,443,389,785

2005/1426 H
1,099,145,598

2006/1427 H
1,399,798,925

2008/1428 H
1,943,819,391

2009/1429 H
2,070,990,299

1430 H
3,637,700,176
Sya’ban 1430/21 Agustus 2009
Total
18,896,268,071

Sumber: Laporan Keuangan Dompet Dhuafa, 2001-2009
Dari laporan keuangan ini, terlihat perbedaan yang signifikan pada jumlah dana wakaf yang berhasil dihimpun sebelum pengelolaan dana wakaf diserahkan secara penuh ke TWI. Dengan pelimpahan wewenang kepada TWI untuk mengelola wakaf secara semi independen dana wakaf yang berhasil dihimpun mengalami peningkatan.
2. Investasi Wakaf Uang
Wakaf uang yang dikelola oleh lembaga ini dilakukan dengan jalan menginvestasikannya, baik dengan prinsip bagi hasil (mudhârabah dan musyârakah), sewa (ijârah), maupun murâbahah. Mengacu pada manajemen keuangan, nampaknya dalam manajemen investasi wakaf, memobilisasi dana (funding) lebih mudah dari pada menginvestasikan dana (investment).  Seperti yang ditegaskan  Monzer Kahf, bentuk baru pengembangan wakaf uang adalah melalui perusahaan investasi. Merujuk pada manajemen investasi wakaf uang dalam wacana fiqh, wakaf uang dapat dikelola dengan skema investasi mudhârabah, musyârakah, ijârah maupun murâbahah.
Dalam melaksanakan kewajibannya selaku nazhir, TWI melakukan pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf yang dihimpunnya sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Pengelolaan wakaf uang yang dicanangkan TWI dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produktif, nonproduktif dan terpadu (gabungan pendekatan produktif dan non produktif pada satu objek wakaf).
a.       Pendekatan Produktif
Dalam pendekatan ini, TWI mengelola harta wakaf untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan menghasilkan keuntungan. Lalu keuntungan ini akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat banyak dengan tetap mempertahankan nilai pokok dari harta wakaf.17 Dalam hal ini, TWI mengalokasikan dana wakafnya untuk usaha peternakan, perkebunan, penyediaan sarana niaga dan bentuk usaha produktif lainnya. Dari hasil usaha tersebut, keuntungannya digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin.
Penempatan wakaf uang ke sektor produktif dilakukan agar prinsip “tahan pokok dan nikmati hasil” seperti yang digariskan dalam hadis Nabi, bisa terwujud. Dana wakaf dari wakif adalah “pokok”, sedangkan surplus dari pengelolaan dana wakaf adalah “buah”. Hasil inilah  yang dialokasikan untuk program-program seperti pembangunan masjid dan sekolah. Untuk itu, dalam perwakafan yang harus diperhatikan adalah tetapnya nilai harta yang diwakafkan. Dalam waktu yang bersamaan wakaf tersebut juga dapat menghasilkan sesuatu yang dapat disalurkan kepada mauquf alaih.
Menurut mantan Direktur Eksekutif Public Interest Research and Advokasy Center (PIRAC) ini, sejatinya ada tiga sumber surplus wakaf yang bisa dikembangkan, pertama, wakaf property, jenis wakaf ini dapat langsung disewakan, sehingga surplus yang didapat langsung berupa uang sewa. Kedua, produksi, wakaf produksi terbagi dua, yakni nonmanufaktur berupa lahan pertanian dan perkebunan dan manufaktur (industry). Ketiga, perdagangan, dari wakaf uang yang terkumpul dimanfaatkan untuk perdagangan dengan sistem mudhârabah.
Dalam melakukan pengelolaan wakaf uang untuk sektor produktif, TWI lebih cenderung melakukan investasi secara langsung (direct investment) ke objek wakaf Di samping  ke sektor ril dengan menggunaka akad mudhârabah, muzara’ah, dan ijârah. Di antara bentuk pengelolaan wakaf produktif yang dilakukan TWI adalah dengan menyalurkan dana wakaf ke berbagai sektor yakni wakaf peternakan, pertanian, perkebunan, perdagangan, wakala (penjualan dinar dan dirham), dan sarana niaga.
Program yang dicanangkan TWI dengan mengelola dana wakaf dalam bentuk ini adalan dalam upaya agar harta wakaf lebih berkembang manfaat ekonomi dan sosialnya. Manfaat ekonomi yang dicanangkan terlihat dari banyaknya kelompok usaha kecil dan menegangah (UKM) yang berhasil diberdayakan dari kucuran dana wakaf. Seperti kelompok masyarakat yang terhimpun dalam Kampung Ternak yang ada di Bogor, kelompok tani yang ada di Lahat Sumatera Selatan  dan Banggai Sulawesi Tengah, dan para pedagang yang kaki lima yang berada di Jabodetabek.
Dari program-program wakaf produktif yang telah dilaksanakan TWI, tampaknya sektor ril menjadi perhatian lembaga ini. Padahal sektor  Usaha Kecil Menengah (UKM) selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah apalagi perbankan yang memandang sektor ini kurang menguntungkan. Dengan memberdayakan sektor ini berarti wakaf uang terbukti dapat memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana abadi yang digarap dengan profesional dan amanah, oleh fund manager-nya. Hal ini sangat tepat dilakukan untuk merangsang kembalinya iklim investasi kondusif yang dilatarbelakangi motivasi emosional teologis berupa niat amal jariyah, di samping pertimbangan hikmah rasional ekonomis melalui kesejahteraan sosial. Karena wakaf uang sangat potensial untuk memberdayakan sektor ril, dapat memperkuat fundamental perekonomian.
Terlaksananya ide atau gagasan yang cukup fenomenal ini terbukti dapat mendatangkan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk berlomba demi pencapaian dan peningkatan taraf hidup yang lebih layak yang mampu menghidupi dirinya tanpa harus bergantung kepada yang lain. Di samping itu, juga dapat membuka peluang baru bagi semua masyarakat untuk turut berpartisipasi mewakafkan hartanya (menjadi wakif).
Nampaknya bentuk investasi wakaf uang seperti yang dilakukan TWI ini tidak berbeda dengan apa yang ditegaskan Muhammad ibn Abdullah al-Ansyari.20 Inovator bolehnya wakaf uang ini berpendapat wakaf uang dapat dilakukan dengan cara menginginvestasikannya dalam bentuk mudhârabah dan keuntungannya disedekahkan pada mauquf alaih.
b.      Pendekatan Nonproduktif,
Berdasarkan pendekatan ini, TWI mengelola harta wakaf untuk hak-hal yang sifatnya tidak menghasilkan keuntungan (nonproduktif). Manfaat yang ditimbulkan dari harta benda wakaf yang bersangkutan adalah karena nilai manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai pemetik manfaat wakaf, misalnya TWI mengalokasikan dana wakafnya untuk investasi pendirian sebuah rumah sakit gratis seperti LKC. Ini berarti tidak ada pemasukan sama sekali. Dengan demikian, biaya operasional rumah sakit cuma-cuma tersebut harus dicarikan dari sumber lainnya.21 Di samping itu, TWI juga mendirikan sekolah gratis untuk kaum dhuafa seperti Smart Ekselensia, sedangkan seluruh biaya operasional dicarikan dari dana lain seperti zakat, infak, dan sedekah. Wakaf uang yang dialokasikan untuk program sosial, sejatinya kurang tepat, karena asas-asas wakaf yaitu keswadayaan, keberhasilan dan kemandirian, kurang terpenuhi di sini.
c.       Terpadu
Yaitu program penyaluran wakaf untuk sarana dan prasarana institusi pelayanan umat dikombinasikan dengan program wakaf dalam bentuk sarana niaga, properti, perkebunan, perdagangan, pertanian, dan lain-lain. Surplusnya disalurkan untuk kaum dhuafa dan atau untuk operasional institusi pelayanan umat dalam satu area program.22 Seperti Rumah Cahaya, sarana perpustakaan dan pelatihan penulisan bagi masyarakat umum yang dikombinasikan dengan aset properti yang disewakan. Kemudian surplusnya digunakan untuk mendukung program perpustakaan dan pelatihan penulisan. Wakaf perkebunan cokelat dan kelapa di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah pun merupakan bentuk program wakaf terpadu TWI. Hasil dari perkebunan cokelat dan kelapa ini digunakan untuk mendanai SMU Mansamat yang berada di daerah itu.
Penghimpunan dana wakaf yang dilakukan TWI cukup efektif karena selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun dilihat dari pengembalian atas investasi wakaf uang yakni penerimaan dana wakaf dikurangi dengan dana wakaf yang disalurkan  maka pengelolaan wakaf uang di TWI bermasalah. Kesimpulan ini dibuktikan dengan terjadinya defisit yang cukup tinggi yang dialami oleh TWI yakni sebesar 1 milyar lebih. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel  di bawah ini:

Tabel 2
Pengelolaan Dana Wakaf Uang

Tahun
Penerimaan Dana Wakaf
Penyaluran Dana Wakaf
Surplus/(Defisit)
2002
   822.451.600
0
     822.451.600
2004/1425 H
7.443.389.795
11.012.014.900
(3.568.625.105)
2005/1426 H
1.099.145.598
  1.376.712.000
   (277.566.402)
2006/1427 H
1.399.798.925
 1.207.904.000
    191.894.925
2008/1428 H
1.943.819.391
 1.353.367.200
    590.452.191
2009/1429 H
2.070.990.299
 1.203.363.726
    867.626.573
Total
14.779.595.608
16.153.361.826
-1.373.766.218
Sumber: Laporan Keuangan Dompet Dhuafa, 2001-2008

Menurut Rini Suprihartanti, defisit anggaran ini berawal dari proses pembelian gedung LKC tahun 2001 yang dibiayai dan dari dana wakaf uang. Tetapi, karena dana wakaf yang terkumpul ketika itu kurang, maka pembelian gedung LKC ditalangi juga dengan dana zakat atas nama hutang  bagi TWI. Begitu juga untuk pembelian gedung sekolah Smart Ekselensia tahun 2003 yang dibiayai dengan dana wakaf, namun juga mengalami kekurangan dana sehingga pelunasan gedung pun dibantu dengan dana zakat atas nama hutang bagi TWI. Untuk gedung LKC, sudah dapat dilunasi, tetapi sekolah Smart Ekselensia masih belum dapat dilunasi oleh TWI.
Bila memahami prinsip sedekah jariyah dalam wakaf, nazhir tidak saja harus meningkatkan kemampuan dan kualitas kerjanya, tetapi juga cara pandang (paradigm) terhadap wakaf yang dikelolanya. Keutuhan aset wakaf tidak musti dipahami secara harfiah dalam bentuk tidak boleh mengubahnya sedikitpun, tetapi dalam konteks yang diajarkan Rasulullah saw. yakni “menahan pokok dan mengalirkan hasil”.
Dari pemahaman seperti ini para nazhir bertugas mengembangkan dan menjaga keutuhan harta wakaf. Dengan ungkapan lain, aset wakaf haruslah berputar, produktif, hingga menghasilkan surplus dan terus dialirkan surplusnya tanpa mengurangi aset. Atau ketika barang itu mengalami penyusutan secara alami akibat pemakaian, dapat diperbaharui kembali dari hasil surplus tersebut. Dalam wakaf uang  yang harus diperhatikan adalah tetapnya nilai harta yang diwakafkan sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang dapat diberikan kepada mauquf ‘alaih. Ini berarti dana wakaf uang tidak boleh berkurang apalagi terjadi defisit. Dilihat dari kenyataan ini, manajemen investasi wakaf uang yang dilakukan TWI belum sesuai dengan prinsip manajemen investasi wakaf uang yang digariskan dalam ekonomi Islam.
3. Pendistribusian Wakaf
Dalam mendistribusikan wakaf uang, TWI, di samping menyalurkan untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, dan sosial. Hal ini dapat dilihat dari program-program wakaf untuk kepentingan umum yakni sarana pendidikan seperti Smart Ekselensia, kesehatan seperti LKC, dan sosial seperti wisma mualaf.
Dari program-program wakaf sosial yang dilaksanakan TWI, sebagai bentuk pendisribusian peruntukan wakaf yang disalurkan oleh wakif maupun pendistribusian dari hasil investasi wakaf. Setidaknya ada tiga sektor utama yang menjadi sasaran utama TWI, yaitu bidang pendidikan, bidang layanan sosial, dan bidang ekonomi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3
Penyaluran Dana Wakaf
Tahun
Wakaf bidang pendidikan
Wakaf bidang ekonomi/ investasi
   Wakaf bidang sosial
2001
0
0
0
2002
0
0
0
2003/1424 H
     38.310.300
0
0
2004/1425 H
6.812.014.900
   500.000.000
3.700.000.000
2005/1426 H
1.306.430.000
     70.282.000
0
2006/1427 H
1.207.904.000
0
0
2008/1428 H
   600.000.000
   190.000.000  
   563.367.200
2009/1429 H
0
   192.629.726
1.010.734.000
Total
9.964.659.200
952.911.726
5.274.101.200
Sumber : Laporan Keuangan Dompet Dhuafa Tahun 2001- 2009
Dari tabel ini prosentase penyaluran dana wakaf pada tabung wakaf untuk sektor pendidikan, ekonomi dan sosial dapat dilihat pada grafik di bawah ini
Grafik 1
Penyaluran Dana Wakaf
Sumber : Laporan Keuangan Dompet Dhuafa Tahun 2001- 2009
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa hampir  61 % dana wakaf yang disalurkan untuk kepentingan pendidikan. Dana yang terhimpun untuk smart ekselensia dipergunakan untuk pembelian fasilitas pendidikan seperti gedung dan peralatan pendidikan lainnya. Dana wakaf yang disalurkan untuk sektor sosial sekitar 33 % sedangkan wakaf uang untuk sektor ekonomi pada tabel ini hanya disalurkan sebesar 6 %.
Hal ini menunjukkan wakaf uang dapat berperan dalam peningkatan kualitas pendidikan, dan dan pelayanan sosial. Argumentasi yang dibangun atas kesimpulan ini didasarkan pada apa yang ditegaskan MA. Mannan, Cash Waqf Certificate Global Opportunity the Sosial Capital Market in 21-CenturyVoluntary-Sektor Banking,bahwa sertifikat wakaf uang merupakan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Namun, kenyataan ini jelas berbeda dengan pemikiran Dian Masyita, A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for The Poverty Alleviation in Indonesia, yang menyatakan bahwa dana wakaf uang  dapat menjadi dana pengurangan kemiskinan di Indonesia, terutama melalui program microfinance. Kenyataanya, dana wakaf yang disalurkan oleh lembaga pengelola wakaf uang ke sektor ril masih sangat terbatas, yakni (6 %). Ini berarti wakaf uang sebagai modal kerja yang menjadi penggerak sektor ril belum tercapai.
Walaupun pendapatan dari sektor ekonomi yang disalurkan TWI kecil, tapi efek yang dapat dirasakan masyarakat cukup besar. Selain mendidik masyarakat  untuk berjiwa entrepreneurship, juga akan menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya dapat mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Karena efek pengelolaan wakaf uang terhadap pengentasan kemiskinan cukup tinggi, maka penyaluran dana wakaf uang ke sektor ini harus lebih banyak dari pada ke sektor lainnya.
Dana wakaf uang diinvestasikan dan disalurkan untuk memberdayakan masyarakat kecil melalui mikro finance dan pendampingan usaha. Bantuan keuangan mikro ini didampingi oleh sarjana pendamping yang akan memberikan konsultasi kepada penerima kredit mikro agar dapat pengetahuan cara berusaha dan berbisnis dengan baik. Dengan pemberian modal dan bantuan manajemen perlahan-lahan masyarakat miskin dapat terangkat derajatnya melalui usaha mikro yang pada akhirnya mampu hidup layak dan sejahtera. Perencanaan dan pengembangan program kredit mikro yang tepat akan memperkuat nilai-nilai kekeluargaan.
Sektor micro finance seharusnya mendapat prioritas terbesar dalam penyaluran dana, karena di dalam model ini terdapat keberpihakan besar kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). UMKM mampu menyerap tenaga kerja produktif sehingga angka pengangguran dapat ditekan. Begitu juga menciptakan UMKM yang mandiri akan besar dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan. Selain itu UMKM yang telah diberikan bimbingan selama ini memperlihatkan kemampuan tinggi dalam pengembalian modal.









BAB III
PENUTUP

C.     KESIMPULAN
wakaf dapat berperan dalam menunjang proses pembangunan secara menyeluruh, baik dalam pembangunan sumber daya manusia, maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial.
Pengelolaan wakaf uang yang dilakukan TWI melalui pendekatan produktif, pada dasarnya sesuai dengan manajemen investasi wakaf uang yang digariskan manajemen investasi wakaf uang perspektif ekonomi Islam, namun pengelolaan dalam bentuk ini belum menerapkan aturan pengelolaan wakaf uang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan misalnya masalah penerapan auransi syari’ah. Namun pengelolaan wakaf uang melalui pendekatan nonproduktif yang dilakukan pada lembaga tersebut kurang tepat, karena prinsip pengelolaan wakaf uang yang digaris dalam ekonomi Islam tidak terpenuhi yakni menghasilkan surplus (return on investmen) dalam pengelolaannya.
Optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf uang, pengembangan wakaf uang menjadi wakaf properti dan penerapan good corporate governance adalah strategi penting yang perlu diperhatikan untuk pengembangan wakaf uang ke depan. Di sinilah akan dapat dibuktikan bahwa wakaf uang adalah salah satu elemen penting dalam keuangan ekonomi syari’ah. Untuk menjaga tingkat profesionalisme nazhir, sudah saatnya nazhir mempunyai sertifikasi dari lembaga sertifikasi wakaf. Untuk itu diharapkan BWI sebagai regulator pengelolaan wakaf di Indonesia membuat lembaga ini. Kepada pemerintah untuk bersikap proaktif dalam melakukan pembinaan dan pengawasan pada lembaga pengelolan wakaf tunai. Khususnya kepada BWI untuk dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah dalam pembentukan BWI daerah, sehingga Gerakan Nasional Wakaf Uang benar-benar terwujud.